Tulisan pendek ini saya kerjakan tahun 2012 lalu... Sekarang, membacanya kembali mengingatkan kepada salah satu dosen favorit saya: Prof. Faisal Attamimi. Semoga segala ilmu dan senyum ramahnya Beliau bisa menjadi amal yang tidak putus-putus pahalanya... Al Faatihah.
*************
Nampaknya dalam banyak kasus, orang-orang tidak menyukai bahkan sampai phobia kepada binatang tertentu karena alasan yang tidak bisa diterima akal sehat. Misalnya, Kakak Ece yang phobia sama toke, Ais sama cicak, Uchi sama kucing, Wauti sama ular, ulat, bahkan jentik nyamuk yang dalam persepsinya masih sefamili sama ular.
Saya sendiri sejak kecil sangat tidak suka pada tikus dan sebangsanya: mencit, hamster, dkk. Kenapa tidak suka? Ya geliiii, apalah lagi sama bulu-bulunya.... Hiiiiyyyy.... Tapi anehnya saya suka boneka dan bentuk animasi dari bintang pengerat satu ini, wkwkwk.
Paradigma saya tentang binatang, terutama tikus, sedikit berubah setelah mengikuti kuliah tempo hari. Oh ya sekedar info, di Prodi Ilmu Gizi Unhas ada satu mata kuliah di mana mahasiswa belajar tentang interaksi obat dan makanan. Kami juga sempat belajar mengenai fitofarmaka juga tanaman herbal. Nah, salah satu pengajarnya itu Prof. Faisal Attamimi.
Satu hari, Prof. Faisal bercerita ihwal penelitian pengembangan tanaman obat. Katanya, dalam tahap pengembangan obat tadi, ada yang disebut tahap uji prakilinis. Uji ini bertujuan untuk mengkaji efektivitas dan efek samping obat dengan memanfaatkan hewan uji. Adapun binatang yang sering dijadikan hewan uji adalah mencit—tikus putih. Menurut Prof Faisal, berangkat dari sini seharusnya kita sangat berterima kasih kepada mencit dan suadara sebangsanya yang tanpa perlawanan rela dijadikan "korban". Kalau bukan karena peran mereka, mungkin ilmu pengetahuan di bidang farmasi tidak akan berkembang sepesat sekarang.
Dalam kesempatan itu, Prof Faisal juga mengungkapkan penyesalannya dalam memperlakukan hewan uji selama ini. Tadinya, selesai memanfaatkan mencit, Beliau langsung saja melempar bangkai binatang malang itu lewat jendela tanpa rasa berdosa. Namun, perlakuannya berubah setelah melihat perlakuan peneliti di luar sana terhadap hewan uji.
Konon, di Jepang ada sebuah upacara penguburan hewan uji yang dilakukan satu kali setiap enam bulan. Hewan-hewan uji yang telah dimanfaatkan akan diawetkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dikumpulkan dalam upaca ini; sebagai tanda terima kasih yang amat mendalam, terkadang para peneliti juga membawakan bunga diiringi tangisan layaknya prosesi pemakaman manusia. Ngomong-ngomong, saya jadi teringat waktu masih ingusan bagaimana saya dan teman-teman memakamkan kucing peliharaan yang mati. Bahkan bangkai burung pipit yang kami temukan tergeletak di jalan setapak pun kami makamkan dengan baik: liang untuk kuburan, ranting untuk nisan, juga taburan bunga yang kami petik dari pekarangan mesjid. Waktu itu yaa, kok kayaknya memakamkan binatang menjadi ritual yang asyik sekali. Memang dasar bocah, heuh heuh...
Nah, kira-kira seperti itulah cara ilmuwan Jepang menghargai "jasa-jasa" hewan uji. What about us? Hadeuh, kucing lewat aja disepak. Gelo waeee...
Komentar
Posting Komentar