Inovasi memang mutlak diperlukan demi tercapainya sebuah kemajuan
Apa sih artinya inovasi? Penemuan baru? Pesawat tempur? Atau apa… Saya pribadi memaknai inovasi sebagai suatu kreativitas dalam memberi nilai lebih terhadap sesuatu. Seperti apa itu? Mari kita simak…
Sepuluh tahun yang lalu, aku masih seorang gadis kecil. Aku duduk di kelas lima SD dan menjadi satu dari beberapa perempuan jangkung di kelas. Aku, sebagaimana anak lainnya, senang bermain sepulang sekolah. Bermain petak umpet, rumah-rumahan, bermain lumpur, dan bersepeda. Tetapi, musim itu anak-anak di lingkungan tempat tinggalku sedang gandrung bermain sepeda.
Setiap hari kami menghabiskan uang untuk menyewa sepeda. Seorang pria paruh baya di dekat rumahku sudah bertahun-tahun menekuni bisnis penyewaan sepeda. Lama-lama kami mulai menyadari, bisa tekor juga kalau menyewa sepeda terus. Bukannya tak punya sepeda, di kolong rumahku selalu terparkir sepeda biru yang gagah. Sepeda kumbang milik ayahku. Dan masalahnya, sepeda itu terlalu besar dan berat. Sulit kukendalikan. Teman sebayaku—tetanggaku—juga begitu. Hanya ada sepeda kumbang keluaran tahun 80-an miliknya ayahnya. Sepeda anak tampaknya agak mewah bagi kami. Kebanyakan kami memang terlahir dari keluarga sederhana dan tinggal di pesisir. Mayoritas warga di kampungku menggantungkan hidup dengan melaut dan berkebun.
Suatu siang yang panas. Angin laut berembus meniup rambutku. Aku tengah duduk berjejer-jejer bersama kawan-kawanku di tangga rumah panggung. Kami tidak punya kesibukan yang berarti. Matahari saat itu terlalu terik untuk bermain petak-umpet. Dalam pada itu, perhatian kami disedot oleh suara bising dari seberang. Suara itu aneh. Seperti suara kaleng besi diseret-seret di atas jalanan. Klarng klarng klarng, tersendat. Lalu, klarng klarng klarng lagi. Di sana ada Yaumil, sahabatku yang tomboy tengah terseok-seok mengayuh sepeda mini. Sepeda itu sangat kecil, bahkan terlampau kecil untuk anak sepuluh tahun macam kami. Lutut Yaumil sampai terbentur-bentur di setirnya. Para bocah terperangah. Takjub. Tetapi kemudian tertawa terguling-guling.
Terang saja, sepeda yang menakjubkan tadi tidak punya ban, hanya velg karatan yang menjadi tumpuannya. Pantas saja Yaumil susah payah. Kalau dikenderai sepeda itu bisingnya minta ampun: velg besi bertemu kerikil jalan.
ilustrasi: www.google.com |
Aku mengenali sepeda ganjil milik Yaumil. Warga biru tua. Benda itu sebenarnya adalah rongsokan dari rumahku: sepeda milik sepupuku yang tinggal di kota dan dulu dikirim ke kampung untuk kami mainkan. Tetapi itu sudah lama sekali. Dan Si Biru pun sudah rusak. Bannya sudah bocor selama bertahun-tahun. Namun di tangan Yaumil, barang bekas bisa dimanfaatkan untuk mengirit. Uang sewa sepeda bisa dipangkas. Tetapi, bagaiamana mungkin terpikir olehnya ide itu: membuang ban sepeda yang telah uzur dan membiarkan velg-nya telanjang? Apapun, yang penting akhirnya kami bisa bersepeda tanpa menguras kantong.
Sorenya, kami pergi beramai-ramai membeli minyak tanah dengan mengendarai Si Biru—yang sudah disulap—secara bergantian. Hebooohhh… Kami menjadi pusat perhatian. Dan aku tidak berhenti cekikikan sepanjang jalan.
Harus kuakui, sahabatku yang bernama Yaumil tadi adalah anak yang jenius—dalam tanda kutip. Meskipun dia baru bisa membaca dengan baik waktu kelas lima SD. Dan meskipun, karena masalah membaca tadi dia harus tinggal kelas di tahun ke empat karirnya di SDN 1 Gu yang dengan demikian dia harus sekelas denganku, juniornya. Tetapi, sungguh, dia… inovatif.
Sejauh yang kuingat, Yaumil selalu membawa benda-benda tak terduga di dalam tas sekolahnya: baterai bekas, dinamo, magnet, paku, karet gelang, kerikil, kabel, dll. Dia memang ganjil. Dan sangat ganjil menurutku, karena dia dapat membuat rangkaian listrik sederhana dengan kabel dan baterai bekas, serta lampu senter. Padahal waktu itu kami masih ingusan. Belum belajar sama sekali tentang listrik. Bahkan sampai hari ini, aku sendiri masih bingung dengan rangkaian listrik: seri, paralel? Yaumil ialah satu dari anak yang memiliki kecedasan istimewa. Sayangnya, dia selalu dianggap bebal oleh guruku. Tidak jarang dipanggil dengan sebutan ‘Bodoh’.
Secara umum, kita selalu menganggap kecerdasan itu hanya dapat diukur dengan kemampuan berhitung, menghafal, serta nilai yang tertera di buku rapor. Padahal, kecerdasan itu artinya luas. Masing-masing orang mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda: linguistik, musikal, seni, dll. Tidak seharusnya kita mengesampingkan bakat kreatif dan inovatif yang dimiliki anak. Orang tua dan guru berperan sentral dalam mengembangkan kemampuan berinovasi dalam diri anak dengan memberi apresiasi terhadap ide-ide mereka. Hal ini harus dilakukan sejak kanak-kanak. Bukan sebaliknya, mengubur sifat inovatif mereka dengan pembelajaran yang monoton.
Mungkin, sesungguhnya, yang paling penting sekarang ialah inovasi dalam sistem pendidikan di negeri kita:bagaimana seharusnya pendidikan kita mampu mencetak generasi yang inovatif.
Komentar
Posting Komentar