Dulu sekali, waktu usia saya masih 6 atau 7 tahun, saya sering mengikuti Bapak berkunjung ke rumah kerabatnya di kota. Rumah khas dengan lantai teraso (semacam marmer buatan), warnanya krem dan agak kusam. Biasanya di dalam rumah jenis ini ada banyak lukisan dan hiasan dinding, ada lampu gantung, sofa bercorak batik, serta furnitur-furnitur kayu berukir. Rumah orang kaya, begitu saya pernah mengasosiasikan sebuah hunian dengan kelas sosial. Ah, juga bau baygon. Rumah orang kaya biasanya bau Baygon.
Sementara di pesisir kampung sana, kami mendiami rumah-rumah panggung. Di dalam rumah jarang ada hiasan, paling-paling beberapa foto dan bunga plastik di ruang tamu. Atau, hiasan dinding yang paling terjangkau dan dianggap cukup keren tapi gak ada arsty arsty-nya ialah poster artis yang ngetop pada zamannya. Dan kalau kau muslim, poster ayat kursi adalah sebuah kewajiban. Entah bagaimana mulanya orang di masa silam kok percaya sebuah poster bisa mengusir setan, hahaha.
Ingatan-ingatan tentang masa kecil pun perlahan tergerus. Rumah-rumah tua di pusat kota telah terjual dan beralih bentuk menjadi ruko dan berbagai pusat bisnis. Sejarahmu terkubur? Kepentingan ekonomi memang akan selalu menang, Bung, hahaha. Begitulah dunia bekerja.
Saya tidak ingat kapan terakhir bertamu ke "rumah orang kaya", bermain sembari sesekali mengamati bufet berisi pajangan keramik dan foto-foto dalam pose bahagia a la kaum brahmana. Lagipula, hari gini siapa yang peduli dengan rumah model begitu, sementara kaki-kaki kita mulai terbiasa menginjak lantai parquet.
Tetapi petualangan demi petualangan mampu mengantarkan kita menyusuri kembali labirin-labirin waktu. Untuk kemudian merenungi banyak hal yang luput dari pikiran sibuk kita, si manusia modern.
“Perjumpaan” saya dengan sebuah rumah tua tanpa penghuni membuat saya sedikit berpikir…
Saya mendatangi sebuah rumah, bangunan yang tak terurus selama bertahun-tahun. Dari pekarangan depan, jika kau amati dengan jeli, di sudut kanan rumah ada bekas kolam ikan. Masuk ke dalam, kita akan disambut ruang tamu yang sangat lega dengan dua set sofa. Debunya cukup tebal. Tetapi jika dibandingkan dengan foundation MUA idolamu, saya gak tahu tebelan mana. Masuk ke dalam lagi, ada ruang tengah, lagi-lagi dengan bekas kolam ikan di sisinya, diapit pula dengan dua buah kamar, satu kamar utama malah ada bathub-nya.
Rumah ini cukup besar. Bayangkan saja, total ada delapan kamar, lima buah di lantai satu dan sisanya berada di tingkat kedua. Saya mengamati isi rumah, menelisik rongsokan di sana-sini. Dari bagunan dan alat rumah tangga, kau tentu bisa meraba-raba seperti apa pemiliknya; tampaknya ia seorang pekerja keras, rapi, dan menyukai keteraturan.
Lalu sebuah pertanyaan mengganggu benak saya…
Berapa lama kemewahan dari jerih payah kita sepanjang hidup bisa kita nikmati? Lima tahun? 10 tahun? 20 tahun? 30 tahun? Lalu apa sesudahnya? Kehidupan di dunia ini jelas-jelas adalah siklus menuju kematian. Masa iya kita akan menghabiskan sepanjang usia kita untuk mengejar apa-apa yang tidak bisa kita nikmati selamanya?
Siklus menuju mati! Dan kita sibuk membangun istana untuk kita hidup, aren’t we insane? Perabotan kita kumpulkan dengan susah payah, mungkin dengan mencicil dan bahkan mengutang, ujung-ujungnya akan menjadi rongsokan. Tidak ada harganya.
Dari sebuah rumah tua, sekarang kita pun paham kenapa para guru bijak menempatkan ilmu pengetahuan di atas segalanya. Semakin banyak ilmu, semakin bermanfaat ilmu tersebut bagi hidup dan kehidupan, maka sampai mati pun manfaatnya akan tetap kita rasakan. Jerih payah kita tak akan bernilai sia-sia. Tak akan pula menjadi rongsokan.
Maka jika kita cerdas berhitung untung rugi, ilmu pengetahuan seharusnya ada di urutan pertama “investasi” kita. Bukan begitu?
Komentar
Posting Komentar