Media pemberitaan beberapa hari belakangan (kembali) diramaikan dengan perceraian Dai Seleb Indonesia: Ustadz Al Habsyi. Kabarnya, gugatan cerai dilayangkan karena dipicu oleh kehadiran istri kedua. Hmm, begini risiko piblic figure, masalah rumah tangga harus siap dijadikan konsumsi masyarakat.
Pernah waktu SMA, saya dan
teman-teman sekelas mendapat tugas menulis biografi tokoh idola. Bagi
saya sendiri, menceritakan tokoh idola adalah hal yang menyenangkan. Segera setelah
diamanahi tugas tersebut, pergilah saya dan beberapa kawan ke warnet demi misi
mencari referensi.
Meskipun ketika itu saya masih berwujud remaja labil, hahhah, tetapi jangan salahh...saya tidak seperti kebanyakan remaja lain yang
mengidolakan artis sinetron, penyanyi, bintang K-Pop (pas saya SMA korean wave mulai melanda kawula muda),
atau seperti anak gadis yang kesemsem
sama pemain bola ganteng. No way, tokoh idola gue gak se-mainstream itu! Idola gue istimewa. Coba
tebak siapa?
AA GYM, cuy... hahhahh
Tapi ini serius. Maka
bayangkanlah, di tengah hujatan masyarakat kepada Aa karena perkara
poligaminya, saya justru maju di muka kelas mempresentasikan biografi Sang Dai
Kondang Nan Tajir. Kemudian salah seorang teman bertanya, “Bagaimana pendapatmu
tentang Aa Gym yang poligami, apakah kamu setuju?”
Kalau tidak salah, saya
memberikan jawaban yang kurang lebih seperti ini, “Saya setuju-setuju saja
dengan poligami... Tapi saya tidak mau dipoligami!!!”
Jawaban yang sangat brilian,
pemirsahhh. Setuju tentang poligami tapi gak mau dipoligami? Jadi maunya apa?
Mendengar jawabanku barusan, terang
saja teman sekelasku tergelak-gelak. Ibu Zarbety (guru bahasa Indonesia-ku)
ikut tertawa dan geleng-geleng. Selanjutnya, saya diminta turun panggung untuk
menghindari pertumpahan darah karena saya ngotot tidak mau dipoligami tetapi di
sisi lain juga membela Aa. Lagian, Teh
Ninih kan ngasih izin untuk menikah lagi, begitu pikirku.
Baiklah, itu cerita masa lalu...
Dalam konteks
budaya Arab jahiliyah adalah wajar jika seorang laki-laki beristri banyak, bahkan
bisa sampai memiliki 10 istri (setelah risalah Islam datang, jumlahnya dibatasi
menjadi maksimal empat istri). Berdasarkan latar belakang sosial kultural
tersebut, bolehlah kita katakan bahwa secara psikologis perempuan Arab lebih
mudah menerima praktik poligami. Sementara dalam kultur orang Indonesia, umumnya
poligami dianggap tabu. Pada masa silam pun, poligami hanya dilakukan oleh
kalangan bangsawan dan penguasa. Mengapa para penguasa zaman dahulu merasa
perlu memiliki banyak istri? Hm, membahas hal ini urusannya akan panjang. Kita
butuh kanal lain untuk meributkannya. Tetapi intinya adalah, sebagai perempuan
Indonesia tulen dan rakyat jelata, wajar dong ya kalau saya tidak siap 'dimadu', hahhaha.
Tidak terima 'madu', tidak
serta-merta membuat saya membenci dan mengharamkan poligami (emang gue sape?).
Toh, hukum asalnya kan boleh. Cuma, persoalannya adalah terkadang laki-laki menggunakan dalih agama untuk
memuaskan hasrat pribadi. Para cowok mungkin lupa, ada term and condition a.k.a syarat dan ketentuan yang patut diperhatikan ketika hendak melakukan poligami. Pertama, tentu harus mampu secara fisik dan finansial.
Kalau syarat ini tidak terpenuhi, tidak perlulah petantang-petenteng. Bukannya membahagiakan, malah menciptakan penderitaan. Iya loh, menghidupi
satu istri saja tidak gampang. Belum lagi anak-anak, biaya sekolah mahal, ciiiyynn...
Lalu, jika kemampuan fisik dan
finansial sudah terpenuhi, apakah sudah cukup? Tunggu dulu... Masih ada lagi
syarat yang disebutkan secara gamblang:
“Kalau kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka nikahilah
seorang saja.”(An Nisa’:3)
Kata kuncinya di situ: ADIL.
Adilnya itu gimana? Yang jelas tidak sekadar menitikberatkan pada pemenuhan
nafkah lahir, tetapi juga nafkah batin: perasaan dicintai, dilindungi, diperhatikan,
dsb.
Nah, andaikan syarat-syarat
tersebut di atas sudah bisa disanggupi, silakan mengajukan proposal kepada istri
untuk menikah lagi. Kalo proposal ditolak, dirayu atuh istrinya, hahahah. Jangan nikah diam-diam. Sebab kenapa?
Menikah lagi tanpa sepengetahuan istri justru akan melukai perasaannya, timbul
perasaan tidak dihargai. Jatoh-jatohnya
malah istri merasa dizolimi. Gak adil dong? Rumah tangga sakinah mawadah
waromah pun hanya tinggal mimpi...
Well, well, well...apa pun keputusan setiap orang, balik lagi ke
pandangan hidup. Kalo gue sih ya, memadang pernikahan itu sebagai mahligai
rumah tangga. *ini ngomong apasihhh, yaiyalah rumah tangga*:P :P Baiklah, bagi
gue salah satu tujuan pernikahan adalah GROWING UP TOGETHER. Bagaimana pasangan
bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik, mewujudkan cita-cita dan visi hidup
bersama. Duh ileeee, indah niaaaaaan. AHAHHAHA. But seriously, makanya langkah pertama dan paling krusial dalam memilih pasangan hidup
ialah VISI itu tadi. Kalo visi oke, yang lain bisa dinego, ahhaha. Dan berjalan beriringan menyamakan visi ini
menurut saya adalah pekerjaan yang tidak mudah. Itu baru ama satu bini cuy, gimane kalo dua, tiga, atau empat? *think
again*
Akhir kata, silakan memilih untuk
berpoligami atau tidak. Jika Anda mampu memenuhi syarat dan ketentuannya dan
merasa akan lebih baik jika memilih jalan poligami serta tidak merugikan
pihak-pihak lain, sok atuh: go ahead...
Pun bagi Anda yang merasa hidup bahagia dengan monogami, nikmatilah... Toh,
semua orang punya peluang yang sama masuk surga.
Komentar
Posting Komentar