Menjalani hidup sebagai jomblo itu kadang terlalu datar dan agak membosankan. Nyaris tidak ada konflik hidup yang layak diceritakan kepada khalayak ramai, misalnya kisah tak santai macam LDR, pacar gue guanteng maksimal, atau apa kek gitu. Life is so flat, you know. Ditambah pula saya adalah pengacara alias pengangguran banyak acara, lengkap sudah! Beban ganda kehidupan yang membosankan. Kalo dalam istilah kasus gizi di Indonesia, ada namanya double burden: orang-orang kelebihan gizi sekaligus kekurangan gizi di waktu yang bersamaan. Yeah, mirip-mirip itulah.
Jadi, karena ga ada yang bisa diceritakan dengan gegap gempita, let me tell you about my past. Semacam pengalaman berharga gitu dah *tsah*. Terutama buat mamah-mamah dan calon mamah, tulisan gue berikut ini mungkin bermanfaat di kemudian hari.
Dikisahkan, sekitar dua tahun lalu saya mudik. Tinggal di rumah sebagai kembang desa yang doyan dasteran (sampe ditegor karena persis emak-emak pake daster mulu. People may never know, pake daster itu sumpah nyaman banget such a friend zone), juga menjalani hari-hari sebagai baby sitter. *uhuk!
I have a nephew, named Rafif. Bocah inilah yang dulu saban hari saya temani main. Sebelum mudik ketika itu, saya sempat ke Gramedia dan membelikan beberapa buku untuk si Rafif, some of them isinya tentang anak-anak yang ceritanya baru masuk sekolah. Saya juga sempat membeli 2 boneka: 1 teddy bear dan 1 beruang temannya Masha. Nanti, boneka ini akan sangat berguna daripada sekadar dipeluk-peluk.
Trust me!
.
.
.
Singkat cerita, setiba di rumah, saya memamerkan ole-ole yang tidak seberapa kepada Rafif: buku, stiker, dan boneka. And he look in love with the gift. Maka pekerjaan pertama kami hari itu adalah, menempel stiker Masha and The Bear di ruang nonton. Ada juga stiker anak sekolah bonus dari buku bacaannya.
Hari berikutnya, dia minta dibacakan buku. Kegiatan itu berulang-ulang kami lakukan, sampai anak ini hafal cerita dalam buku-bukunya. Dan seperti anak-anak umumnya yang punya rasa ingin tahu yang besar, Rafif selalu bertanya. Sering kali, pertanyaan itu berwujud: "kenapa?" Jadi, jika punya anak kecil Anda harus selalu siap sedia dengan jawaban "karena bla bla bla..."
Si Rafif waktu itu umurnya baru 4 tahun. Saya suka kasihan, setiap pagi dia ga ada teman main, sebab anak-anak tetangga pada ke sekolah. Yah memang, anak-anak sebelah usianya lebih tua dari Rafif. Then I guessed, sudah saatnya dia didorong untuk masuk TK. Bukan untuk apa-apa, sekadar supaya bersosialisasi dan punya teman baru.
Rafif first day at school |
Maka mulailah saya mendoktrin dia untuk tertarik dengan Taman Kanak-Kanak alias TK. Caranya? Via buku cerita itu tadi. Cara ini cukup ampuh, cuma belum bisa benar-benar menggerakkan Rafif untuk mau sekolah. Cara lain: mendongeng atau ngarang cerita pake boneka, hahahaha.
Masih ingat 2 boneka yang tadi? Yes, Teddy Bear dan Beruang Teman Masha, bersama boneka Naga dan Upin, mereka adalah tokoh-tokoh dalam cerita karangan gue yang kemudian hari begitu digandrungi sama Kaka Apip (Rafif). Saking gandrungnya, saya mesti menggunakan boneka itu untuk mempengaruhi dia dalam setiap tahap hidupnya. I mean, mau makan, mau mandi, mau mengaji, sampai akhirnya Rafif mau masuk sekolah tidak lepas dari peran tokoh boneka tadi. Gerombolan boneka itu pun seperti menjadi teman bagi Rafif. Kami sempat memberinya nama: Mama Deedee untuk teddy bear, Miskho untuk beruang coklat, Naga, dan Upin.
Tapi asal tahu saja, main peran-peran begitu susaaaah. Kenapa? Karena untuk semua tokoh itu, eike yang dubbing ciiiinnn... Bayangkan betapa lelahnya adek, Bang, mengubah-ubah suara dan gaya bicara dalam waktu bersamaan, hahahah. Tapi, disinilah bagian yang paling disenangi Kaka Apip, dia suka tertawa-tawa geli mendegar boneka berbicara dengan jenaka.
Persoalan yang muncul kemudian, orang-orang selalu memandang aneh anak laki-laki yang main boneka. Itu juga yang terjadi pada tetangga ketika melihat saya main sama Rafif. Well, dalam hal ini izinkan saya memberikan argumen.
Pertama, saya mengenalkan boneka kepada ponakan saya sebenarnya hanya sebagai semacam media komunikasi. Kita bisa menyampaikan pesan-pesan moral dengan bermain peran. Pernah liat anak-anak di TV mendongeng/didongengkan pakai boneka? Nah, kurang lebih seperti itu. Kedua, ponakan gue ga pernah main masak-masak atau main asuh-asuhan dengan boneka, hahhaha. Boneka itu pure sebagai teman. Kami bermain peran-peran, dan ceritanya universal: tentang sekolah, persahabatan, dll. Ini sekalian mengasah imajinasi juga sih. Jadi saya agak sebal juga sih ketika ada orang mencibir kok anak cowok main boneka. Ya kaliii bonekanya Barbie...
Finally, in my humble opinion, tidak masalah anak laki diajak main dengan boneka. Selama bonekanya dimanfaatkan sebagai media komunikasi, untuk mendongeng misalnya, bercerita tentang pergulatan antara penjahat dan superhero, dsb. Sebab pada dasarnya anak-anak lebih suka ketika kita menyuguhkan mereka sebuah cerita yang "hidup". And puppets make the story real.
Komentar
Posting Komentar