Hari-hari belakangan media pemberitaan Indonesia tengah ramai membicarakan urusan pulau buatan di Jakarta sana berikut masyarakat nelayan pesisir yang tergusur sebagai akibat dari megaproyek tersebut. Media sosial pun menjadi tidak kalah bising mengomentari perihal ini, semua orang turut angkat bicara. Pada saat yang sama, saya merasa jenuh: apakah hajat hidup kita orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, hanya seputar Ahok dan reklamasi?
Di satu daerah di Indonesia, di mana namanya tidak pernah tercatat dalam buku atlas versi apa pun, sekelompok masayarakat lebih peduli pada urusan tanah mereka ketimbang membual soal Ahok dan segala tetek-bengek pemilukada orang Jakarta. Adalah masyarakat Desa Matawine (dikenal juga sebagai orang Wongko) di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, yang kini memperjuangkan haknya tas lahan perkebunan mereka yang dalam rencana pemerintah daerah akan dijadikan komplek perkantoran pemda nantinnya.
Desa Matawine secara geografis terletak di Pulau Muna, namun secara administratif dahulu daerah ini berada di bawah naungan pemerintah Kabupaten Buton yang beribukota di Pasarwajo, di Pulau Buton. Matawine dapati ditempuh dalam waktu kira-kira 1 jam perjalanan darat ditambah setengah jam naik feri dari Bau-Bau, kota terbesar di Buton Kepulauan. Dengan luas wilayah kurang lebih 743,53 Ha, Desa Matawine berpenduduk 206 kk. Kini, Desa Matawine yang termasuk wilayah Kecamatan Lakudo bersama beberapa kecamatan lain di sekitarnya telah resmi melepaskan diri dari pemerintahan Buton “induk” dan membentuk daerah otonomi baru bernama Buton Tengah.
Persoalan klasik yang sering dialami daerah baru hasil pemekaran adalah penetapan pusat pemerintahan. Ada sentimen keadaerahan yang muncul bahwa ibukota harus berada di desa A, kecamatan X, atau desa B di Kecamatan Y, dst. Demikian pula yang dialami masyarakat Buton Tengah.
Konon, setelah perdebatan yang panjang dan alot menyoal letak pusat pemerintahan, akhirnya pilihan jatuh kawasan sekitar Pemandian Labungkari di Desa Matawine tadi karena dianggap berada di tengah-tengah, sehingga tidak perlu ada lagi alasan sentimen keadaerahan katanya. Cukup adil. Tetapi masalah yang muncul kemudian ketika kantor-kantor pemerintah mulai dibangun di atas lahan orang Matawine di Wakutodi (kawasan perkebunan yang tidak jauh dari Pemandian Labungkari), para pemilik lahan mempertanyakan akta hibah yang menjadi dasar pembangunan.
“Kami orang Matawine bukannya tidak senang dengan pembangunan di Matawine. Apalah daerah kami yang terpencil ini, tiba-tiba mau dijadikan pusat pemerintahan, kami seperti kejatuhan berkah! Cuma, masyarakat meminta haknya dipenuhi: persoalannya sederhana saja, pemilik lahan merasa belum pernah menandatangani apa-apa, kenapa tiba-tiba sudah terbit akta hibah?” Farihi, ketua Himpunan Pemuda dan Pelajar Matawine menjelaskan duduk perkara kepada saya pada suatu sore di ruang tamu sekretariatnya.
Untuk diketahui, orang Wongko mendiami tanah di Wakutodi sejak sebelum kemerdekaan, kira-kira tahun 1930-an. Pemilik lahan menengarai ada oknum-oknum yang “bermain” dalam penerbitan akta hibah lahan milik mereka tersebut. Farihi melanjutkan, “Kami sudah mengajukan persoalan ini dari jenjang pemerintahan terbawah sampai ke atas, tetapi rasa-rasanya keluhan kami tidak pernah didengar. Menghadap ke DPRD sama saja, mereka hanya mewakili suara penguasa bukan suara rakyat.”
Perkara ini pun menjadi berlarut-larut. Merasa tidak pernah ditanggapi secara positif, masalah “sengketa tanah” tersebut kini sudah dilimpahkan oleh masyarakat Matawine ke DPR pusat. “Kalau sejak dulu mereka mau menunjukkan akta hibah yang kami minta, urusannya tidak akan panjang begini. Kan permintaan kami mudah saja: tunjukkan akta hibah, selesai. Kalau pun ada kekurangan-kekurangan pada akta pedoman mereka, mari sama-sama kita perbaiki. Kan begitu? Sekarang masyarakat terlanjur kecewa. Bagaimana pun keputusan dari pusat nanti, apakah ibukota akan tetap di sini atau dipindahkan, kita tinggal menunggu. Saya pribadi masih berharap ibukota tetap di sini dan masyarakat juga diberikan haknya,” tukas Farihi menutup diskusi sore itu.
menarik, sudah adakah forum yang dibuat untuk membahas perkara ini?
BalasHapus