Cinta pertama bagiku adalah kenangan masa kecil di sebuah kampung pesisir...
www.pinterest.com |
Dalam memori masa kecil yang tersimpan baik di kepalaku, ada banyak hal menyenangkan yang bisa kukenang. Tentang sore-sore bersahaja mengikut tetanggaku berjualan keliling, cerita hantu yang dahulu bisa bikin menangis terkencing-kecing (sekarang, ketika me
ngingatnya aku justru bertanya-tanya di mana letak seramnya cerita itu), atau malam-malam syahdu kami menikmati langit cemerlang dengan bintang berhamburan (kamu tahu rasanya terlentang di balai-balai ketika itu? Seperti berada di luar angkasa!)
Dari sekian memori indah tak terperi ala cerita novel di atas, aku juga menyimpan sisi kelam masa sekolah di taman kanak-kanak. Bullying? Bukan, bukan itu. Kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT? Ah, yang benar saja...
Baiklah, kayaknya tidak perlu aku menyebutnya sisi kelam karena sebenarnya tidak begitu-begitu amat. Cerita ini hanya segelintir kisah yang tidak masuk kategori "kenangan indah" dan masih lekat dalam ingatanku dalam kapasitasku sebagai "saksi sejarah".
Satu hari di kelas, waktu itu aku masih TK, kami diberi tugas mewarnai. Ibu guru membagi-bagikan potongan kertas bergambar buah kepada tiap-tiap siswa. Selanjutnya, ibu guru mengedarkan sekeranjang pensil warna dan kami dibebaskan memilih warna untuk menyelesaikan tugas tadi. Aku menyelesaikan tugas dengan baik: jeruk berwarna oranye. Kemudian, majulah aku bersama beberapa kawan lain ke meja ibu guru untuk menyetor tugas. Untuk tugas mewarnaiku yang apik dan ciamik tersebut, ibu guru memberiku nilai 8. Nilai sempurna untuk level anak TK saat itu. Giliran selanjutnya, si Eli temanku yang menunjukkan hasil jerih payahnya: sebuah jeruk absurd berwarna-warni. Campur aduk warnanya. Aku pun memandang gambar itu dengan takjub, "Kereeeenn," pikirku.
Ibu Guru geleng-geleng seraya bersabda, "Kenapa jeruknya warna begini? Seharusnya jeruk itu warna jingga," lalu beliau membubuhkan angka 7 di sudut gambar jeruk milik Eli. Aku yang masih bocah berpikir, tampaknya, ibu guru tidak punya sense of art.
Nyaris 20 tahun setelah kejadian itu, Aku kembali bertandang di TK Dharma Wanita Lakudo, tempatku belajar bernyanyi dan mewarnai ketika masih ingusan dulu. Kali ini, aku ke sana untuk mengantar keponakanku bersekolah.
Perubahan yang berarti adalah temboknya kini sudah dicat dengan warna cerah, perpaduan kuning dengan biru. Tetapi ajaib, metode belajarnya tidak berubah sejak jutaan tahun lalu: kelas dibuka dengan bernyanyi dan berdoa, lalu mewarnai, diberi nilai, dan kelas ditutup dengan bernyanyi lagi. Wah, luar biasa... Zaman sudah silih berganti, sejak handphone masih sebesar pemukul baseball hingga berevolusi menjadi smartphone layar sentuh yang kurasa dalam waktu yang tidak lama lagi akan berubah mewujud hologram pada ruang visual di muka hidung kita, tetapi urusan di TK-ku itu masih seputar mewarnai dengan benar dan tidak keluar garis!
Di kota-kota besar, anak-anak di TK mulai diajarkan baca-tulis dan berhitung. Bahkan sudah ada sekolah yang mengajarkan anak bahasa asing. Lantas pertanyaannya kemudian, apakah ini metode yang ideal untuk mereka?
Sebenarnya, dunia anak-anak selalu tentang bermain. Aktivitas bermain ini jangan dipandang sebagai kegiatan rekreasional dan senang-senang semata karena ternyata dalam kegiatan bermain itulah anak mampu mengembangkan berbagai kecakapan dalam dirinya; antara lain: motorik, kreativitas, dan kecerdasan sosial.
Di Jepang, siswa TK tidak diajarkan baca tulis sebagaimana kita di kota besar di Indonesia. Aktivitas anak prasekolah di Jepang adalah bermain, tetapi sambil belajar. Mereka diajarkan konsep-konsep kehidupan dengan sangat sederhana, misalnya melalui kegiatan berkebun. Maka jangan heran jika anak-anak di sana ada yang bercita-cita sebagai tukang kebun, penjual stroberi, penjual ikan, bahkan tukang sampah. Mereka belajar bahwa semua profesi itu baik selama kita bekerja sepenuh hati. Bandingkan dengan anak-anak kita yang biasanya ingin menjadi dokter, padahal mereka tidak mengerti apa sih pekerjaan seorang dokter? Hanya karena para orang tua mendorong mereka untuk punya cita-cita "bergengsi".
Finlandia tidak terlalu jauh berbeda. Negara bagian Skandinavia ini belakangan menjadi rujukan banyak pemerhati dan praktisi pendidikan. Di sana, kreativitas anak sangat dihargai dan para pendidik percaya bahwa setiap anak memiliki kecerdasannya sendiri-sendiri. Kecerdasan tidak melulu soal kemampuan kognisi. Jangankan hasil gambar/mewarnai anak yang diberi nilai 7 atau 8, bahkan pada jenjang yang lebih tinggi tidak ada sistim rangking!
Menengok bagaimana negara maju mengatur pendidikan anak-anak mereka, nampaknya pekerjaan rumah kita orang Indonesia masih banyak yaa...
Komentar
Posting Komentar