Langsung ke konten utama

MENGUKUR POPULARITAS I LAGALIGO DI KALANGAN ANAK MUDA KEKINIAN


photo cr: www.indonesia.travel
Ketika mendengar nama I Lagaligo disebut, ada tiga hal yang terbersit di kepalaku. Pertama, ialah semacam kafe yang cukup sering saya lewati. Kafe ini tampaknya cukup populer di kalangan kawula muda Makassar, beberapa kali saya mendapati teman maya “check-in” di sana. Nah, kenapa kafe ini mengingatkan saya pada I Lagaligo? Sebab nama kafe tersebut mencatut nama Lagaligo tadi. Hal kedua, saya teringat museum di komplek Benteng Fort Roterdam yang dulu saya kunjungi ketika baru semester awal kuliah di Universitas Hasanuddin. Ya, lagi-lagi nama museumnya: La Galigo. Terakhir, nama itu me-recall memoriku akan salah satu jalan di tengah Kota Makassar.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, saya pun membuat asumsi prematur bahwa tentulah I Lagaligo itu seorang pahlawan atau barangkali raja gagah perkasa yang pada masa lampau menguasai daratan Bugis-Makassar. Namun anggapan ini berubah ketika dalam perselancaran di jagat maya beberapa waktu lalu, saya menemukan tulisan yang menyinggung ihwal I Lagaligo. Dan terus terang, saya pribadi tercengang akan penemuan perselancaran saya ini.

naskah epos I Lagaligo, photo cr: http://media.viva.co.id/
I Lagaligo ternyata adalah nama sebuah kitab sastra tradisional dari kebudayaan Bugis klasik. Karya sastra I Lagaligo (disebut  juga Sureq Galigo) ini berbentuk epos atau wiracarita, yakni berisi kisah kepahlawanan yang biasanya dituturkan dalam bentuk syair. Sedangkan isi ceritanya sendiri banyak mengandung unsur mistis. Di dalam kitab ini dikisahkan tentang penciptaan bumi yang dimulai dengan musyawarah raja langit dengan beberapa kerajaan termasuk kerajaan gaib. Kemudian, terdapat pula kisah kepahlawanan Sawerigading yang digambarkan sebagai seorang kapten kapal. Sawerigading menjelajah dari wilayah Taranate (Ternate, Maluku) sampai ke Melaka di sebelah barat Indonesia, bahkan hingga ke Kerajaan Tiongkok. Nah, Sawerigading ini memiliki putra bernama I Lagaligo. Konon, ia juga seorang kapten kapal seperti ayahnya. Sebagaimana hikayat pada umumnya, kitab I Lagaligo juga memuat petuah-petuah kehidupan.

Lalu apa istimewanya hikayat I Lagaligo?


Jangan salah, I Lagaligo ternyata merupakan epos terpanjang di dunia dengan 300.000 baris teks, mengalahkan pajangnya epos Mahabharata dari India. Wow! Hebat bukan? Padahal, jaman sekolah dulu kisah Mahabharata justru paling populer di buku pelajaran Sejarah. Malah, beberapa waktu lalu Sinetron Mahabharata sangat terkenal di kalangan masyarakat kita. Kalau tidak salah, sinteron satu ini nih yang menjadi cikal-bakal menjamurnya sinetron India di tengah keluarga Indonesia. Karena popularitas Mahabharata pula, stasiun TV kita mau repot-repot mengimpor pemainnya datang ke Indonesia untuk meramaikan variety show favorit pemirsa. Masih ingat si ganteng Shaheer Shekh berikut kisah cintanya dengan pedangdut Ayu Ting Ting? Aktor asal India ini kan dikenal orang Indonesia karena perannya sebagai Arjuna di sinetron tadi.

Kembali ke I Lagaligo...
For your information, pengumpulan manuskrip I Lagaligo dimulai pada masa penjajahan Belanda. Adalah BF Matthes, peneliti Belanda yang diutus oleh Nederlandsch Bijibelgenootschaap yang menginisiasi penejemahan teks I Lagaligo. Matthes dibantu oleh Tjollie Poedjoe dan putrinya Siti Aisyah We Tenriolle (ratu Kerajaan Tanete, sekarang dikenal sebagai Luwu) dalam mengumpulkan naskah yang terserak pada daun-daun lontar. Ketika itu, daun lontar manuskrip I Lagaligo dikultuskan dan dianggap keramat oleh mayoritas orang Bugis, bahkan disimpan di dalam kain putih bersama dupa, dan dibacakan dalam upacara keagamaan. Selain membantu mengumpulkan naskah, kedua anak-beranak tadi juga menerjemahkan teks I Lagalido yang berbahasa Bugis Kuno ke dalam bahasa Bugis yang mudah di mengerti. Kemudian oleh Matthes, I Lagaligo dalam aksara Bguis dan terjemahan bahasa Belanda-nya dituangkan dalam buku Boeginesche Chrestomathie Jilid Ii tahun 1872. Karya terjemahan tersebut kini berada di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Oh ya, teater I Lagaligo sudah pernah dipentaskan di berbagai kota di belahan dunia seperti Amsterdam, Barcelona, Madrid, Lyon, Ravenna, New York, Melbourne, Milan, Singapura, dan Taipei.

Halo, apa kabar I Lagaligo?

Sebagai orang Indonesia tulen, bahkan sebagai orang Sulawesi yang hampir 6 tahun bermukim di Kota Makassar, saya merasa kurang apdet betuuulll. Dan agak memalukan juga. Masa mahakarya sekeren ini luput dari pengetahuan. Ke mana saja? Tapi tiba-tiba, malah terpikir oleh saya: kira-kira teman-teman saya tahu I Lagaligo tidak ya? Apa yang mereka persepsikan dari nama itu? Adakah mereka sama tidak tahunya dengan saya?

Atas rasa penasaran di atas, saya pun melakukan survey sederhana. Tidak perlu membayangkan riset yang rumit-rumit, hehehe, karena saya hanya mengajukan pertanyaan kepada teman-teman via chatting. Bunyinya: “Kamu tau I Lagaligo?” Saya juga mengajukan pertanyaan serupa ke beberapa grup chatting yang saya punya. Survey ini terutama saya tujukan kepada teman-teman Bugis-Makassar, atau paling tidak yang pernah bermukim lama di Makassar (umumnya teman kampus). Asumsinya, mereka pasti sudah familiar dengan nama I Lagaligo.
Hasilnya...?
Umumnya mereka menggambarkan I Lagaligo sebagai nama tempat yang entah di mana, nama pahlawan barangkali, kisah jaman dulu yang entah ceritanya apa (lupa katanya), nama tempat makan, nama museum, nama rumah sakit, nama jalan, beberapa juga yang tidak tahu sama sekali, ada juga yang bilang: “Kayak pernah dengar...” Dan dari sekian banyak orang yang saya tanya, hanya 3 responden (responden gelap sebenarnya, karena diwaawancarai tanpa infrormed consent, hihihi) yang menggambarkan I Lagaligo sebagai epos yang sangat masyhur.

Seorang kawan yang juga saya jadikan responden malah terkejut ketika saya katakan bahwa I Lagaligo adalah epos terpanjang di dunia. “Masa? Wow... Padahal di buku bahasa daerahku hanya sepenggal cerita orang-orang Bugis jaman dulu.”

Pada akhrinya, saya pun menyimpulkan: Kebanyakan anak muda memang kudet alias kurang apdet terhadap sejarah tradisi bangsanya sendiri. Padahal, sebagaimana kata para tetua, sejarah adalah identitas diri yang darinya kita juga belajar tentang nilai dan motivasi, cinta kasih, humanisme, bahkan strategi politik.  


Sebagai penutup pencarian sederhana tentang I Lagaligo ini, ada satu pertanyaan yang mengusik kepalaku: “Berarti, orang Bugis zaman dulu keren dong? Bagaimana bisa mereka menciptakan karya sastra sehebat itu? Lah kita yang hidup di era kecepatan informasi ampun-ampunan, sudah punya karya apa?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mah, Apa Hukumnya Minum Air Rebusan Telur?

Edisi #mamahdedeh, gaisss... Tagline kita adalah apa pun masalahnya langsung beres! Mari bayangkan skenario seperti ini... Di sebuah acara pengajian, puluhan wanita mengenakan gamis dan kerudung duduk melingkar merubungi seorang perempuan lebih separuh baya yang biasa disapa MAMAH. Lalu salah satu hadirin berdiri sembari memegang mic , hendak mengajukan sebuah pertanyaan mahapenting kepada Mamah. "Mah, curhat dooong!" "Iya dooong!" "Nama saya Haji Sul..." Belum selesai Haji Sul titik titik menyebutkan namanya secara paripurna, Mamah langsung menyemprot garang, "Hei heii, jangan sombong udah haji! Emang kalo abis solat kita dipanggil solat ape gitu?! Lanjut, nyebut nama aja biar sederhana!” Sehabis diomelin begitu, dengan wajah tersipu malu HAJI SUL titik titik kembali memperkenalkan jati dirinya. "Nama saya Sulastri Ayu, Mah." Ouu, ternyata Sulastri gaiiss... Alhamdulillah, namanya bukan Sulaiman. *pan ceweek dia* #krikrik #

Main 'Batu Lima' dan Rahasia Selamat dari Hantu

Anak-anak jaman sekarang mainnya kalo bukan gadget yaa ke mall. Begitu-begitu saja. Padahal kami dulu punya banyak permainan seru yang biasa dimainkan pas istirahat kelas dan sepulang sekolah. Kadang, jika kami agak bandel, hahah, permainan itu dimainkan ketika jam belajar, ketika Bapak dan Ibu Guru yang terhormat sedang keluar sebentar.  Kalau diingat-ingat, betapa menyenangkannya masa kecil itu...  Di kampungku, ada permainan yang namanya: kabula (mirip engklek yang di daerah Jawa), hendip, boi 100, kai, batu lima, kelereng, wayang, monopoli, dan banyak lagi.  ilustrasi permainan kabula. Photo credit: http://yogyakarta.panduanwisata.id/ ***** Nah, kali ini saya mau cerita sedikit tentang batu lima, salah satu permainan yang agak jarang saya melibatkan diri. Why ? Sederhana saja, karena bisa dipastikan, saya akan selalu kalah, sementara hukumannya bagiku agak mengerikan . ilustrasi permainan batu lima. photo credit: http://www.navalbasepri.moe.edu.sg/ Batu

Legenda Sangkuriang (Berkencan Sambil Cari Kutu)

Cerita ini dikisahkan oleh temanku, Mbak Tuts, waktu lagi nongkrong di depan indekos. Mbak Tuts itu ketika masih kecil adalah pecinta dongeng dan ia membagi sedikit “ingatan”nya tentang Legenda Sangkuriang. photo cr: http://legendasangkuriang.blogspot.co.id/ Suatu hari ketika Dayang Sumbi (ibunya Sangkuriang) masih lajang sedang menjahit, tiba-tiba jarumnya jatuh ke kolong rumahnya. Dayang Sumbi pun berjanji jika ada seorang lelaki yang mau mengambilkan jarum itu untuknya, lelaki itu akan dijadikan suami (bdw, menurutku ini ikrar yang aneh. Kenapa dia tidak turun ambil sendiri? Kan jatuhnya cuma di kolong... Haeuh, sedentary banget). Lalu, ternyata yang mengambilkan jarum itu adalah seekor anjing bernama Lumang. Singkat kata singkat cerita, mereka pun menikah. (Huh, ini lebih aneh lagi. Bagaimana caranya anjing ngambil jarum? Terus, dalam perjanjian tadi kan yang akan dijadikan suami adalah lelaki?!) Dari pernikahan Dayang Sumbi dengan Lumang lahirlah Sangkuriang. Suatu h